PSBB atau Karantina Wilayah?

Untuk menekan laju penyebaran wabah virus corona (covid-19) pemerintah Indonesia mengeluarkan kebijakan untuk membatasi aktivitas masyarakat yaitu dengan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB). PSBB ini sendiri bukanlah suatu istilah baru namun memang diatur didalam UU No 6 tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan (UU Kekarantinaan Kesehatan). Menurut Pasal 1 huruf 11 UU Kekarantinaan Kesehatan, PSBB adalah "pembatasan kegiatan tertentu" penduduk dalam suatu wilayah yang diduga terinfeksi penyakit dan/atau terkontaminasi sedemikian rupa untuk mencegah kemungkinan penyebaran penyakit atau kontaminasi. Jika melihat Pasal 59 ayat 2 UU Kekarantinaan Kesehatan, PSBB bertujuan untuk mencegah meluasnya penyebaran penyakit Kedaruratan Kesehatan Masyarakat yang sedang terjadi antar orang "di suatu wilayah tertentu" dan apabila dikaitkan dengan definisi PSBB di Pasal 1 huruf 11 maka dapat disimpulkan bahwa PSBB adalah suatu upaya yang dapat diambil oleh pemerintah sebagai respons atas kedaruratan kesehatan masyarakat dengan melakukan pembatasan kegiatan tertentu disuatu wilayah tertentu.

Sebagai contoh: pada awal pelaksanaan PSBB di DKI Jakarta, melalui Pergub DKI No. 33 tahun 2020 tentang Pelaksanaan Pembatasan Sosial Berskala Besar dalam Penanganan Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) di Provinsi DKI Jakarta yang mulai berlaku tanggal 10 April 2020, Pemprov DKI Jakarta melarang (atau istilah resminya = membatasi) aktivitas warga diluar rumah dan kegiatan perkantoran baik pemerintah maupun swasta namun hanya dalam lingkup wilayah DKI Jakarta, sesuai apa yang dimaksud PSBB didalam UU Kekarantinaan Kesehatan. Namun melihat efektivitas pelaksanaan PSBB yang dirasakan masih kurang dalam mengurangi dampak penyebaran covid-19, Pemprov DKI telah beberapa kali mencoba mengajukan kepada pemerintah pusat untuk melakukan karantina wilayah namun tidak disetujui.

Penyebaran wabah virus corona (covid-19) yang semakin luas dan semakin bertambahnya jumlah pasien positif membuat pemerintah pusat akhirnya mengambil kebijakan untuk melakukan pelarangan mudik tahun 2020 melalui Permenhub No. 25 tahun 2020 tentang Pengendalian Transportasi Selama Masa Mudik Idul Fitri tahun 1441 Hijriah dalam Rangka Pencegahan Penyebaran Covid-19, yang mulai berlaku dari tanggal 24 April 2020 sampai dengan tanggal 31 Mei 2020 dan dapat diperpanjang apabila masih diperlukan dalam rangka pencegahan penyebaran covid-19. Dengan adanya "larangan mudik" tersebut, maka setiap penduduk kecuali ditentukan lain oleh undang-undang dilarang untuk menggunakan sarana transportasi darat, kereta api, laut maupun udara dengan tujuan keluar dan/atau masuk wilayah: PSBB, zona merah penyebaran Covid-19 dan aglomerasi wilayah PSBB di seluruh Indonesia.

Masyarakat mungkin banyak yang bingung dengan kebijakan yang dibuat oleh pemerintah karena di satu sisi pemerintah menyatakan bukan/tidak akan melakukan karantina wilayah tetapi hanya sebatas PSBB, namun jika dicermati semua peraturan yang berkaitan dengan pencegahan penyebaran covid-19 dibuat berdasarkan pada UU Kekarantinaan Kesehatan, sehingga sudah seharusnya seluruh pelaksanaannya pun harus berpedoman pada UU tersebut. Dalam UU Kekarantinaan Kesehatan jelas diatur bahwa PSBB adalah "pembatasan kegiatan disuatu wilayah tertentu" bukan pembatasan pergerakan masyarakat, sehingga apa yang sedang dilakukan oleh pemerintah melalui larangan mudik yang biasanya dikonotasikan sebagai kegiatan pulang kampung menjelang lebaran, menurut saya adalah sama dengan Karantina Wilayah sebagaimana dimaksud Pasal 1 huruf 10 yaitu pembatasan penduduk dalam suatu wilayah termasuk "wilayah Pintu Masuk" beserta isinya yang diduga terinfeksi penyakit dan/atau terkontaminasi sedemikian rupa untuk mencegah kemungkinan penyebaran penyakit atau kontaminasi, kemudian Pasal 54 ayat (3) bahwa anggota masyarakat yang dikarantina tidak boleh keluar masuk wilayah karantina. Wilayah yang dikarantina diberi garis karantina (ini yang tidak dilakukan oleh pemerintah karena memang pemerintah tetap menyatakan tidak melakukan karantina) dan dijaga terus menerus oleh Pejabat Karantina Kesehatan dan Kepolisian Negara Republik Indonesia yang berada di luar wilayah karantina.

Menurut saya, Permenhub No 25 tahun 2020 dikeluarkan hanya karena "kepanikan" tanpa pertimbangan dan persiapan matang terhadap dampak sosial yang akan ditimbulkan, karena dari judulnya peraturan tersebut seharusnya ditujukan bagi penduduk yang akan melakukan mudik, namun dalam kenyataannya semua masyarakat kecuali yang ditentukan lain oleh undang-undang menjadi ikut terdampak. Sebagai konsekuensi diberlakukannya suatu kebijakan yang bersifat seperti "Karantina Wilayah", maka sesuai amanat Pasal 55 UU Kekarantinaan Kesehatan, seharusnya pemerintah pusat wajib bertanggung jawab atas kebutuhan hidup dasar orang dan makanan hewan ternak yang berada di wilayah karantina.

Yang menjadi pertanyaan adalah apakah hal tersebut sudah dilakukan atau akan dilakukan oleh pemerintah pusat, sebab hingga hari ini tidak jelas kebijakan apa yang saat ini sedang berlaku, apakah PSBB (social distancing) atau karantina wilayah (lockdown)? Kejelasan mengenai jenis kebijakan pemerintah sangat penting pada saat ini, karena kebijakan yang diambil sangat berpengaruh terhadap kehidupan masyarakat. Ditengah ancaman wabah penyakit, masyarakat dari berbagai kelompok dan tingkat ekonomi juga menghadapi ancaman kelaparan akibat tidak dapat beraktivitas secara normal karena adanya pembatasan terutama masyarakat yang hidup dipelosok kepulauan yang fasilitas-fasilitas umum serta sumber daya manusia maupun teknologi penunjangnya masih terbatas.

Comments

Popular posts from this blog

Anak yang sejak lahir WNI "dipaksa" negara untuk mendaftar berkewarganegaraan ganda

Pengalaman Buruk di Praktek Dokter Hewan Bersama Sunter, Jakarta

Eksekusi Jaminan Fidusia Pasca Putusan MK