Hak Milik Tanah/Rumah Bagi Pasangan Kawin Campur
Apakah seorang WNI yang menikah dengan WNA otomatis kehilangan hak milik atas tanah?
Pasal 21 ayat (3) UU No. 5 tahun 1960 Tentang Pokok-Pokok Agraria (UUPA) mengatur bahwa:
"Orang asing yang sesudah berlakunya Undang-undang ini memperoleh hak milik karena pewarisan tanpa wasiat atau percampuran harta karena perkawinan, demikian pula warga-negara Indonesia yang mempunyai hak milik dan setelah berlakunya Undang-undang ini kehilangan kewarganegaraannya wajib melepaskan hak itu di dalam jangka waktu satu tahun sejak diperolehnya hak tersebut atau hilangnya kewarganegaraan itu. Jika sesudah jangka waktu tersebut lampau hak milik itu dilepaskan, maka hak tersebut hapus karena hukum dan tanahnya jatuh pada Negara, dengan ketentuan bahwa hak-hak pihak lain yang membebaninya tetap berlangsung".
Produk UU yang dilahirkan tidak lama setelah masa kemerdekaan ini awalnya bertujuan untuk melindungi hak rakyat Indonesia khususnya untuk dapat memiliki tanah baik sebagai tempat tinggal maupun sebagai tempat mencari nafkah. Sebagaimana diketahui, pada masa penjajahan tanah-tanah yang luas banyak dikuasai oleh pihak asing (penjajah/keluarganya) sehingga WNI sendiri terpaksa harus menjadi penyewa di tanah air sendiri.
Saat ini, 72 tahun setelah masa kemerdekaan RI, UUPA yang telah berumur 57 tahun tersebut masih berlaku dan seringkali menimbulkan permasalahan khususnya bagi pasangan perkawinan campur antara seorang WNI dan WNA dikarenakan banyaknya penafsiran yang berbeda-beda terhadap pasal tersebut.
Walaupun bunyi Pasal 21 ayat (3) tersebut jelas menyatakan "orang asing" dan "warga-negara Indonesia yang kehilangan kewarganegaraannya", namun dalam kenyataan di lapangan banyak PPAT (dalam hal ini Notaris) yang menafsirkan lain sehingga menolak melakukan proses AJB maupun akta perjanjian lainnya terkait tanah hak milik dikarenakan salah satu pihak dalam pasangan perkawinan adalah seorang WNA.
Alasan klasik yang selalu dikatakan oleh Notaris PPAT umumnya adalah setiap WNI yang menikah dengan WNA akan kehilangan kewarganegaraan oleh karenanya otomatis kehilangan hak milik pula.
Padahal jelas sekali maksud dari pembentuk UUPA bahwa hanya orang asing atau WNI yang kehilangan kewarganegaraanya yang wajib melepaskan hak milik dalam jangka waktu satu tahun sejak diperolehnya hak.
Pasal 28H ayat (4) UUD RI tahun 1945 jelas menegaskan:
"Setiap orang berhak mempunyai hak milik pribadi dan hak milik tersebut tidak boleh diambil alih secara sewenang-wenang oleh siapa pun", sedangkan penolakan oleh Notaris PPAT (yang jelas diangkat oleh negara/kemenkumham) untuk melakukan tugasnya membuat akta yang terkait dengan hak milik WNI (yang kawin dengan WNA) jelas merupakan upaya untuk menghilangkan/mengambil alih secara sewenang-wenang hak milik pribadi seorang warganegara.
Apakah ada UU atau peraturan apapun di Republik ini yang menyatakan seorang WNI otomatis kehilangan kewarganegaraan setelah menikah dengan WNA? Semoga ada Notaris PPAT hebat yang benar mengerti hukum diluar sana yang dapat menjawab dan penulis tunggu jawabannya ya.
Bagi penulis cara para Notaris PPAT menafsirkan bunyi Pasal 21 ayat (3) UUPA ini (maaf) seperti cara anak TK. Saran bagi Kemenkumham atau INI, dalam perekrutan/pengangkatan Notaris PPAT (khususnya yang ditempatkan didaerah-daerah) diwajibkan mengikuti pendidikan khusus yaitu pemahaman Bahasa Indonesia secara baik dan benar agar ketika bertugas tidak semena-mena menolak melakukan tanggung jawab mereka hanya karena salah dan sembarangan menafsirkan UU karena banyak Notaris PPAT didaerah-daerah yang kemampuan memahami bahasa Indonesia masih sangat memprihatinkan. Tindakan para Notaris PPAT yang menolak melakukan tugas mereka hanya karena salah penafsiran isi UU tentu sangat merugikan bagi WNI yang membutuhkan (atau lebih tepat diwajibkan) untuk melakukan suatu akad melalui notaris.
Pasal 21 ayat (3) UU No. 5 tahun 1960 Tentang Pokok-Pokok Agraria (UUPA) mengatur bahwa:
"Orang asing yang sesudah berlakunya Undang-undang ini memperoleh hak milik karena pewarisan tanpa wasiat atau percampuran harta karena perkawinan, demikian pula warga-negara Indonesia yang mempunyai hak milik dan setelah berlakunya Undang-undang ini kehilangan kewarganegaraannya wajib melepaskan hak itu di dalam jangka waktu satu tahun sejak diperolehnya hak tersebut atau hilangnya kewarganegaraan itu. Jika sesudah jangka waktu tersebut lampau hak milik itu dilepaskan, maka hak tersebut hapus karena hukum dan tanahnya jatuh pada Negara, dengan ketentuan bahwa hak-hak pihak lain yang membebaninya tetap berlangsung".
Produk UU yang dilahirkan tidak lama setelah masa kemerdekaan ini awalnya bertujuan untuk melindungi hak rakyat Indonesia khususnya untuk dapat memiliki tanah baik sebagai tempat tinggal maupun sebagai tempat mencari nafkah. Sebagaimana diketahui, pada masa penjajahan tanah-tanah yang luas banyak dikuasai oleh pihak asing (penjajah/keluarganya) sehingga WNI sendiri terpaksa harus menjadi penyewa di tanah air sendiri.
Saat ini, 72 tahun setelah masa kemerdekaan RI, UUPA yang telah berumur 57 tahun tersebut masih berlaku dan seringkali menimbulkan permasalahan khususnya bagi pasangan perkawinan campur antara seorang WNI dan WNA dikarenakan banyaknya penafsiran yang berbeda-beda terhadap pasal tersebut.
Walaupun bunyi Pasal 21 ayat (3) tersebut jelas menyatakan "orang asing" dan "warga-negara Indonesia yang kehilangan kewarganegaraannya", namun dalam kenyataan di lapangan banyak PPAT (dalam hal ini Notaris) yang menafsirkan lain sehingga menolak melakukan proses AJB maupun akta perjanjian lainnya terkait tanah hak milik dikarenakan salah satu pihak dalam pasangan perkawinan adalah seorang WNA.
Alasan klasik yang selalu dikatakan oleh Notaris PPAT umumnya adalah setiap WNI yang menikah dengan WNA akan kehilangan kewarganegaraan oleh karenanya otomatis kehilangan hak milik pula.
Padahal jelas sekali maksud dari pembentuk UUPA bahwa hanya orang asing atau WNI yang kehilangan kewarganegaraanya yang wajib melepaskan hak milik dalam jangka waktu satu tahun sejak diperolehnya hak.
Pasal 28H ayat (4) UUD RI tahun 1945 jelas menegaskan:
"Setiap orang berhak mempunyai hak milik pribadi dan hak milik tersebut tidak boleh diambil alih secara sewenang-wenang oleh siapa pun", sedangkan penolakan oleh Notaris PPAT (yang jelas diangkat oleh negara/kemenkumham) untuk melakukan tugasnya membuat akta yang terkait dengan hak milik WNI (yang kawin dengan WNA) jelas merupakan upaya untuk menghilangkan/mengambil alih secara sewenang-wenang hak milik pribadi seorang warganegara.
Apakah ada UU atau peraturan apapun di Republik ini yang menyatakan seorang WNI otomatis kehilangan kewarganegaraan setelah menikah dengan WNA? Semoga ada Notaris PPAT hebat yang benar mengerti hukum diluar sana yang dapat menjawab dan penulis tunggu jawabannya ya.
Bagi penulis cara para Notaris PPAT menafsirkan bunyi Pasal 21 ayat (3) UUPA ini (maaf) seperti cara anak TK. Saran bagi Kemenkumham atau INI, dalam perekrutan/pengangkatan Notaris PPAT (khususnya yang ditempatkan didaerah-daerah) diwajibkan mengikuti pendidikan khusus yaitu pemahaman Bahasa Indonesia secara baik dan benar agar ketika bertugas tidak semena-mena menolak melakukan tanggung jawab mereka hanya karena salah dan sembarangan menafsirkan UU karena banyak Notaris PPAT didaerah-daerah yang kemampuan memahami bahasa Indonesia masih sangat memprihatinkan. Tindakan para Notaris PPAT yang menolak melakukan tugas mereka hanya karena salah penafsiran isi UU tentu sangat merugikan bagi WNI yang membutuhkan (atau lebih tepat diwajibkan) untuk melakukan suatu akad melalui notaris.
Comments