Lembaga Peradilan di Indonesia - Teori dan Kenyataan
Secara umum di Indonesia terdapat 4 (empat) jenis peradilan yaitu: Peradilan Umum, Peradilan Agama, Peradilan Militer dan Peradilan Tata Usaha Negara, masing-masing mempunyai yurisdiksi yang berbeda namun semuanya bernaung dibawah pengawasan Mahkamah Agung Republik Indonesia (MARI) sebagai lembaga peradilan tertinggi. Sebagai lembaga peradilan tertinggi, MARI mempunyai kewenangan penuh dalam mengawasi segala kinerja dari lembaga peradilan dibawahnya, hal ini sebagaimana ditentukan dalam Pasal 32 UU No. 14 tahun 1985 tentang Mahkamah Agung yang terakhir diubah dengan UU No. 3 tahun 2009.
Untuk memastikan penyelenggaraan peradilan sesuai apa yang dicita-citakan oleh undang-undang serta diharapkan oleh masyarakat pencari keadilan, maka secara berkala MARI menerbitkan suatu buku (terakhir Buku II) yang dimaksudkan sebagai pedoman dalam pelaksanaan tugas bagi seluruh aparatur pengadilan. Isi dari pedoman tersebut merupakan interpretasi dari apa yang diperintahkan oleh undang-undang yang berlaku di Republik Indonesia. Sebagai ujung tombak dari penegakan hukum, setiap aparatur lembaga peradilan sudah seharusnya mentaati serta dapat menjadi panutan dalam penegakan hukum di negara ini.
Namun sayangnya Indonesia sebagai suatu negara hukum walaupun telah menyediakan berbagai upaya serta fasilitas untuk mendukung penegakan hukum, hingga hari ini sepertinya rasa hormat dan kepercayaan masyarakat terhadap lembaga peradilan masih sangat rendah. Menurut data dari beberapa LBH bahwa hingga tahun 2019 terjadi peningkatan pengajuan perkara di pengadilan yang semakin tinggi, namun hal tersebut bukanlah dikarenakan meningkatnya kepercayaan masyarakat tetapi karena makin meningkatnya interaksi didalam kehidupan sosial bermasyarakat sehingga secara tidak langsung berdampak pada meningkatnya persoalan-persoalan yang apabila tidak dapat diselesaikan secara kekeluargaan maka tidak ada jalan lain yang lebih murah (bukan lebih cepat) kecuali ke pengadilan.
Rendahnya rasa hormat dan kepercayaan masyarakat pencari keadilan terhadap lembaga peradilan bukan karena hukum yang kurang baik namun lebih dikarenakan bobroknya kinerja lembaga-lembaga peradilan akibat ulah sebagian oknum aparatur yang lebih mementingkan kepentingan pribadi daripada tanggung jawab tugasnya. Hal ini diperparah dengan kurang atau (mungkin lebih tepat disebut) tidak efisiennya sistem pengawasan yang dilakukan oleh lembaga peradilan diatasnya.
Secara teori, MARI telah melakukan langkah bagus dalam mengawasi proses peradilan dengan memanfaatkan kemajuan teknologi informasi yaitu mengharuskan setiap pengadilan untuk mengumumkan setiap perkara di pengadilan secara daring (online) melalui Sistem Informasi Penelusuran Perkara (SIPP) agar dapat diakses oleh publik. Namun sayangnya, walaupun sudah ada pengumuman secara terbuka di SIPP namun dari pengalaman penulis, seringkali dalam suatu perkara, aparatur pengadilan tidak melaksanakan kewajibannya sebagaimana ditentukan dalam peraturan perundang-undangan, seperti terlambat mengumumkan (update) informasi di SIPP, jangka waktu penyelesaian perkara jauh lebih lama dari batas yang ditentukan oleh undang-undang dan banyak kekurangan lainnya, yang apabila ditanyakan oleh pencari keadilan, para oknum aparatur yang terkait selalu berkelit dengan berbagai alasan.
Sebagai wujud perhatian MARI untuk peningkatan pelayanan terhadap para pencari keadilan, Badan Pengawasan MARI juga meluncurkan suatu sarana pelaporan secara online yaitu Sistem Informasi Pengawasan Badan Pengawasan MARI (SIWAS - siwas.mahkamahagung.go.id) agar masyarakat dapat lebih mudah melaporkan pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan oleh oknum aparatur pengadilan.
Sayangnya dalam pelaksanaannya, sepertinya SIWAS masih sangat jauh dari efektif. Penulis sendiri mempunyai pengalaman melaporkan perbuatan seorang oknum aparatur salah satu pengadilan di Jakarta yang dengan sengaja melambat-lambatkan penyelesaian suatu perkara perdata. Laporan disampaikan melalui SIWAS pada tanggal 17 Desember 2019 dan hingga tulisan ini dibuat pada tanggal 18 April 2020 belum ada perkembangan berarti dari laporan tersebut. Dari informasi yang didapatkan di SIWAS, status terakhir laporan adalah permintaan klarifikasi terlapor pada tanggal 12 Februari 2020. Tentu penulis sebagai seorang pencari keadilan merasa sangat kecewa dengan lambannya penanganan terhadap laporan masyarakat, karena setelah melaporkan oknum tersebut justru perkara penulis menjadi semakin tidak jelas waktu penyelesaiannya.
Berdasarkan contoh pengalaman penulis diatas, maka dapat dipahami mengapa para pencari keadilan bahkan termasuk penegak hukum seperti advokat atau jaksa pun 'enggan' untuk melaporkan temuan pelanggaran dalam lingkungan peradilan karena khawatir bukan mendapatkan solusi namun justru masalah yang lebih besar yaitu tidak jelas penyelesaian perkara yang mereka hadapi.
----------------------------
*Tulisan ini tidak bermaksud untuk mendiskreditkan seluruh pengadilan di Indonesia namun hanya mencontohkan pengadilan tertentu berdasarkan pengalaman penulis.
Comments